Pasang Iklan

Muatan Politik di Balik Sepak Bola Negeri Ini



Muatan Politik di Balik Sepak Bola Negeri Ini - Sudah belasan tahun Bambang Pamungkas mengarungi kancah sepak bola di Tanah Air. Sepanjang itu pula, ia kenyang pengalaman dan sedikit-banyak memahami soal bagaimana sepak bola negeri ini dikelola. Ia sampai pada kesimpulan: sepak bola di Indonesia tidak melulu soal permainan di lapangan.

Ia juga mengkritik sebagian orang yang tidak murni dalam mengurus sepak bola. Orang-orang itu menyimpan kepentingan dan muatan tertentu, termasuk kepentingan politik. Namun, Bepe memiliki sikap tegas dalam persoalan-persoalan yang menjadi polemik panas belakangan ini, terkait tim nasional misalnya, seperti yang dijelaskannya dalam lanjutan wawancara berikut ini:

Dari pengalaman Anda menjadi pemain, apakah Anda merasakan betul, sepak bola menjadi barang mainan politik dan kepentingan kelompok bisnis tertentu?

Jujur saya katakan bahwa saya lebih nyaman bermain sepak bola 15 tahun yang lalu, ketika saya masih yunior, ketika apa yang ada di kepala saya hanya bermain, bermain, dan bermain.

Dengan berjalannya waktu, saya semakin banyak tahu tentang bagaimana sepak bola dijalankan, bagaimana regulasi yang dijalankan, bagaimana kinerja yang mengurus sepak bola. Di situ saya jadi kehilangan respek. Tidak semua pengurus sepak bola Indonesia pure peduli mengurus sepak bola Indonesia.

Saya tidak bisa menutup mata soal itu. Saya katakan, tidak semua memang. Tapi, ada orang-orang yang tidak pure dalam mengurus sepak bola.

Termasuk ada kepentingan politik maksudnya?

Seperti itu tentunya. Di negara lain, mungkin juga seperti itu, tetapi tidak mencampuri esensi dari sepak bola itu sendiri. Di Indonesia, esensi itu sudah hilang. Seperti saya katakan tadi, sepak bola dimainkan untuk menjalin persaudaraan, persahabatan, persatuan. Maka di sana ada rasa saling menghargai. Nah, esensi saling menghargai itu yang hilang di Indonesia karena tidak ada saling menghargai di situ.

Di negeri ini sepak bola sudah tidak lagi menjadi olahraga masyarakat. Sepak bola sudah menjadi olahraga para elite pengurus, yang mengatasnamakan rasa cinta terhadap sepak bola sebagai topeng, di balik segala hal bermuatan politik di belakangnya. Mereka tidak lagi memikirkan akibat yang akan diterima oleh para pelaku di lapangan dan juga masyarakat yang benar-benar mencintai olahraga paling populer di dunia ini.

Terkait dualisme timnas, ada dua keputusan berbeda yang Anda buat: sempat tidak bergabung, lalu bergabung. Bisa Anda jelaskan?

Ini hal yang tidak dipahami masyarakat dan saya tidak ingin menjelaskan satu per satu. Ketika saya bergabung melawan Valencia, orang pikir, saya berubah. Sebenarnya tidak. Ketika itu, sudah dibentuk joint committee. Dalam rapat joint committee disebutkan bahwa kompetisi ISL maupun IPL berada di bawah PSSI. Artinya, ISL sudah di bawah PSSI. Oleh karena itulah, saya dan teman-teman bergabung tim nasional.

Akan tetapi, pada akhirnya KPSI masih keberatan dan akan menghukum pemain yang bergabung tim nasional. Saat itu ada kalimat yang menyatakan, kalau mereka (pemain) tidak kembali, mereka (KPSI) akan membentuk tim nasional KPSI. Oleh karena itulah, kami berlima (dengan pemain-pemain lain yang sempat bergabung timnas) berpikir demi kebaikan bersama, supaya tidak ada dua tim nasional, maka kita keluar dari tim nasional.

Tetapi, pada kenyataannya tim nasional KPSI dibentuk juga. Di situ saya berpikir, saya tidak ingin bergabung ke sana. Karena, saya mempunyai dasar-dasar surat dari AFC maupun FIFA dan juga FIFPro yang menyatakan bahwa KPSI tidak berhak membentuk sebuah tim nasional. Pada saat itu saya berpikir, ketika saya tidak boleh melakukan yang benar, jangan paksa saya melakukan hal yang salah.

Oleh karena itu, saya mengimbau pada teman-teman di Indonesia untuk berhenti dari kedua belah pihak. Tujuan saya waktu adalah, mengharapkan kedua kubu untuk duduk bersama untuk menyatukan visi mereka soal tim nasional sehingga tim nasional jadi satu dan itu benar-benar merepresentasikan sepak bola Indonesia.

Tapi, pada akhirnya tidak juga terjadi. Kebetulan di rapat berikutnya, yang saya tidak tahu rapat joint committee berikutnya pada tanggal berapa, disepakatilah bahwa tim nasional hanya satu di bawah PSSI. Joint committee mengharmonisasi pemanggilan pemain.

Di situ sudah jelas, bahwa tim nasional hanya satu. Di situlah kenapa saya akhirnya memilih untuk bergabung. Karena sudah ada surat keputusan tersebut. Tidak bergabungnya saya ke tim nasional di Malang tidak tanpa alasan. Karena tanpa sepengetahuan masyarakat, kami beraudiensi langsung dengan Alfred Riedl.

Kami melakukan komunikasi via email. Saya berikan semua alasan kenapa saya merasa tidak berhak untuk bergabung ke Malang, berdasarkan surat-surat yang saya dapat dari AFC maupun FIFA dan juga FIFPro. Semua surat itu saya sampaikan kepada Riedl. Dan pada akhirnya, dia mengerti itu.

Saya katakan kepada Riedl, saya baru akan memutuskan bergabung di salah satu tim nasional saat rapat joint committee menentukan, siapa yang berhak mengelola timnas. Setelah rapat memutuskan bahwa tim nasional hanya satu di bawah PSSI dan joint committee mengharmonisasi, maka sudah jelas bahwa PSSI-lah yang berhak memutuskan timnas. Maka, saya akhirnya memutuskan itu (bergabung timnas).

Jadi, semua tindakan saya terkait tim nasional bukan tanpa alasan. Artinya, saya mendokumentasikan itu dan saya melakukan prosedur yang memang harus dilakukan. Kalau selama ini KPSI mengatakan Bambang tidak hadir tanpa alasan, menurut saya, itu salah karena saya komunikasikan dengan (CEO PT Liga Indonesia) Pak Joko (Driyono), dengan Riedl, via email, via surat, dan menurut saya, itu dasar hukum yang benar.

Riedl bisa menerima, tetapi bagaimana dengan pihak lain, Pak Joko misalnya?

Pada akhirnya saya katakan bahwa kalau toh saya tidak boleh bergabung, tolong alasan, beri dasar hukum saya tidak boleh bergabung. Tetapi, mereka tidak punya. So, saya terus bergabung. Jadi, kalau ada pihak yang mengatakan saya alpa tanpa ada alasan, maka itu sebenarnya itu salah.

Komentar Anda soal keputusan Alfred Riedl bergabung timnas yang disiapkan KPSI?

Saya tidak ingin menilai apa pun keputusan Alfred Riedl. Karena saya yakin, dia mempunyai dasar kenapa dia melakukan hal itu. Tetapi, ketika saya berkomunikasi dengan beliau, saya berikan dasar-dasar kenapa saya tidak mau hadir. Artinya ada berupa surat resmi yang saya lampirkan dalam email saya, yang saya jadikan dasar kenapa saya tidak datang.

Dan di sana beliau mengerti. Artinya, karena surat itu sifatnya resmi, maka dia juga mengerti kenapa saya tidak bisa hadir. Dan saya katakan saat itu bahwa saya akan menentukan setelah rapat Joint Committee untuk bergabung atau tidak. Karena di situ kita tahu, timnas mana yang nantinya merepresentasikan Indonesia?

Sekali lagi, saya tidak ingin menilai atau meraba-raba kira-kira apa yang di dalam pemikiran Riedl. Tetapi, secara pribadi, saya yakin dia memiliki dasar kenapa dia melakukan itu. Dan sekali lagi, saya tidak tahu itu.

Dia tidak pernah bercerita soal itu lewat email atau telepon?

Tidak. Tidak pernah. Dia hanya menyatakan turut prihatin dengan sepak bola Indonesia dan sangat mengerti dengan keputusan saya. Akan tetapi, di sisi lain secara tegas mencoret saya dari tim nasional (yang dipersiapkan KPSI) karena tidak bergabung dan saya terima itu karena itu konsekuensi. Karena dia tidak mau menunggu saya terkait rapat joint committee.

Di lain pihak, saat konflik terjadi ada juga sikap pelatih timnas lain, Rahmad Darmawan yang memilih mundur dari timnas U-23 dan bergabung dengan klub ISL. Komentar Anda?

Saya pernah menyampaikan, ketika orang membawa-bawa kata "nasionalisme" jika saya bergabung timnas, saya katakan ini bukan soal nasionalisme. Ini masalah pemahaman setiap individu dalam menyikapi konflik yang sedang terjadi. Jadi, bukan berarti ketika saya bergabung timnas saya lebih nasionalis daripada yang lain, tidak. Bukan berarti pemain yang memilih tidak hadir tidak nasionalis, tidak. Saya kira, terlalu sakral kata nasionalisme untuk hanya diimplementasikan pada sepakbola.

Jadi, saya berpikir bahwa setiap individu mempunyai pandangan masing-masing dalam menyikapi konflik. Dan pandangan itulah yang mendasari mereka sikap masing-masing. Jadi, saya tidak ingin mengatakan atau tidak men-judge pemain itu, pelatih itu bagaimana. Tetapi, saya yakin setiap individu pasti punya alasan, termasuk juga saya.

Bagaimana dengan teman-teman Anda yang dilarang masuk timnas dan apakah mereka berkeluh kesah soal itu?

Jujur, semua pemain yang dipanggil tim nasional pasti ingin bermain untuk tim nasional. Karena, puncak prestasi seorang pemain sepak bola adalah bermain untuk negaranya. Dari nama-nama yang kemarin pun dipanggil sangat ingin bermain membela tim nasional di AFF. Tetapi pada akhirnya mereka terbentur dengan situasi di mana mereka merasa harus menaati kontrak. Sekali lagi, ini bukan masalah nasionalis atau tidak nasionalis, tetapi lebih menyangkut pemahaman setiap pemain menyikapi keadaan ini.

Saya pribadi merasa bahwa timnas adalah posisi yang sangat sakral bagi sebuah negara. Artinya, saya selalu mengatakan, mari kita berdebat, mari kita berargumentasi. Tetapi, tolong tim nasional jangan diganggu gugat. Artinya, tim nasional terlalu sakral hanya diganggu atau direcoki oleh hal-hal seperti ini. Karena kita bicara tim nasional, kita bicara seluruh rakyat Indonesia. Jadi, kurang bijaksana rasanya kalau kita mengorbankan harkat dan martabat bangsa hanya karena kepentingan individu atau kepentingan golongan yang memang "terlalu sempit" pemikirannya.

Muatan Politik di Balik Sepak Bola Negeri Ini


.::Artikel Menarik Lainnya::.